Politik
Sritex Dibanjiri Pertanyaan, Mengapa Tidak Membayar THR kepada Karyawan?
Sritex menghadapi pengawasan terkait tidak dibayarnya upah hari libur, menimbulkan pertanyaan kritis mengenai hak-hak karyawan dan pertanggungjawaban perusahaan dalam masa kesulitan keuangan. Apa yang akan terjadi selanjutnya?

Bagaimana Sritex bisa berada di pusat perhatian yang sangat intens? Jawabannya terletak pada pengungkapan yang mengkhawatirkan bahwa sekitar 11.000 karyawan yang di-PHK telah ditolak hak mereka atas tunjangan hari raya (THR) sejak tahun 2020. Situasi ini meningkat secara dramatis setelah deklarasi kebangkrutan Sritex pada 21 Oktober 2024. Sebagai perusahaan, mereka tidak hanya menghadapi kehancuran finansial; mereka juga berada di pusat masalah besar tentang hak karyawan dan tanggung jawab perusahaan.
Tuduhan bahwa Sritex mengalihkan tanggung jawab pembayaran THR ke pemerintah telah menimbulkan pertanyaan serius tentang kewajiban etis mereka. Anggota parlemen Irma Suryani Chaniago telah mengkritik publik perusahaan, menekankan bahwa adalah kewajiban mereka untuk menghormati pembayaran ini, bukan tanggung jawab negara. Sentimen ini bergema bagi banyak orang yang percaya bahwa perusahaan harus memenuhi komitmen mereka terhadap karyawan, terutama dalam masa yang secara finansial menantang.
Ketika sebuah bisnis gagal memenuhi kewajibannya, hal itu tidak hanya merusak hak karyawan, tetapi juga kepercayaan yang ditempatkan masyarakat pada entitas korporat. Denny Ardiansyah, kurator perusahaan, telah menunjukkan bahwa dana tidak cukup untuk menutupi pembayaran THR, terutama jika PHK berlanjut melebihi Februari 2025. Pernyataan ini menggambarkan gambaran keuangan Sritex yang suram, tetapi juga memunculkan pertanyaan kritis.
Bukankah pertanggungjawaban harus melampaui sekedar metrik finansial? Bukankah warisan sebuah perusahaan harus diukur dari cara mereka memperlakukan tenaga kerja mereka, terutama di saat-saat paling rentan? Kurangnya pembayaran THR sejak tahun 2020 bukan hanya masalah finansial; itu mencerminkan kegagalan yang lebih dalam dalam tata kelola perusahaan dan tanggung jawab sosial.
Kita harus mendesak Kementerian Ketenagakerjaan untuk mengambil tindakan tegas terhadap Sritex. Seruan untuk pertanggungjawaban bukan hanya tentang penegakan hukum; ini tentang mengakui martabat dan hak pekerja. Setiap individu pantas merasa aman dalam pekerjaan mereka dan percaya bahwa hak-hak mereka akan dipertahankan, terutama ketika mereka di-PHK.
Ketika kita menganalisis situasi ini, menjadi jelas bahwa yang dipertaruhkan melampaui Sritex. Ini tentang implikasi yang lebih luas untuk hak karyawan dan pertanggungjawaban perusahaan di tengah kekacauan finansial. Sebagai warga negara, kita harus menuntut lebih dari perusahaan—transparansi, integritas, dan pada akhirnya, komitmen untuk menjunjung tinggi hak setiap karyawan.
Pengawasan berkelanjutan terhadap Sritex berfungsi sebagai pengingat penting akan kebutuhan akan perubahan sistemik dan pertanggungjawaban dalam lanskap perusahaan kita.